Universitas Djuanda

UNIVERSITAS DJUANDA

Bogor

Sunday, 21 January 2018

January 21, 2018 Posted by Hesty Wahyu 2 comments
Posted by Hesty Wahyu on January 21, 2018 with 2 comments

BAB  II

PEMBAHASAN

A.    DEFINISI ILMU DAN KEBUDAYAAN

Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E.B Taylor pada tahun 1871, dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[1]

1.      Ilmu dalam Budaya

Kududukan ilmu dalam dunia bersama disebut budaya. Budaya dapat dibedakan menjadi beberapa tahap. Van Peursen membagi budaya menjadi budaya mistis, budaya ontologis, dan budaya fungsional[2]. Tahapan itu merupakan suatu model, pola dasar sebagai kerangka budaya yang selalu menampilkan tiga dimensi aku yaitu mistis, ontologi, dan fungsional.

Budaya mistis ialah budaya yang lebih menonjolkan aspek mistis daripada aspek lainnya. Demikian pula budaya fungsional dan ontologis, tetapi setiap kebudayaan menggabungkan ketiga aspek tersebut dalam kombinasi dengan imbanganyang berbeda.   


S


P


Suatu budaya mistis merupakan dunia perwujudan ilmu yang mistis, ialah ilmu yang masih melebur dengan kekuatan dan ancaman kedalam lingkungan hidup. Ilmu ontologis sudah mampu mengambil jarak dari kekuatan dalam lingkungan, menyadari diri sebagai suatu keterpisahan dan dapat bersikap meneliti lingkungan. Adapun ilmu yang fungsional menyadari kaitan dengan lingkungan dan menyatakan diri lewat kaitan ini, melangsungkan fungsi dan relesasi.

a.      Budaya mistis                                                                                                            O

Dalam bagan di samping, ilmu turut serta mengambil bagian dalam kejadian sekitarnya, melebur dengan kekuatan objek, objek nyata pada lingkaran subjek yang tidak digambar penuh, subjek tidak bulat penuh, sehingga kekuatan dari luar dapat menerobosnya, belum ada pemisah yang jelas. Adapun kekuatan-kekuatan ajaib dijumpai lewat beberapa (simbol) dalam mitos. Dimensi negatif ilmu mistis mengambil wujud sikap magis, dimensi positif ialah dimensi religius.

b.      Budaya ontologis


P

S

Pada ilmu ontologis partisipasi ilmu mistis telah terdesak oleh distansi, pengambilan jarak subjek dari objek sepenuhnya, nyata dalam bagan dalam wujud dua lingkaran subjek dan objek yang terpisah secara penuh. Subjek memandang objek, membatasi, meneliti dan mengungkapkannya dalam pengertian-pengertian yang jelas. Dimensi negatif ialah apabila distansi menjadi isolasi, tejadi sikap substansialistik atau individualis.

c.       Budaya fungsional


P



S

Pada ilmu fungsional maka subjek terbuka bagi objek dan sebaliknya, nyata pada lingkaran subjek dan objek yang terbuka dan berkaitan, dalam suatu ketegangan. Subjek mengadakan pengerahan diri, suatu pertautan diri dan keterlibatan dengan segala gairah dan emosi yang disebut sikap eksistnsial. Segi negatif dalam budaya fungsional tampak dalam oprasionalisme. Sikap keterbukaan pertautan subjek-subjek tertutup lagi sehingga suatu yang semula bersifat relasi menjadi semcam rumus atau denah saja.

1)      Tahap Teoligis, atau tahap yang berdasarkan fantasi

Dibedakan menjadi 3 tahap, yaitu animisme, piliteisme, dan monoteisme. Dalam tahap animisme orang beranggapan bahwa benda-benda merupakan suatu yang berjiwa. Banyak benda tersebut ‘suci’ atau ‘sakti’. Gejala-gejala ‘suci’ dapat disebut ‘dewa-dewa’ dan dewa-dewa ini bisa diatur dalam suatu sistem sehingga menjadi politeisme dengan spesialisai dewa api, dewa lautan, dewa angin, dewa panen, dan sebgainya. Politeisme yang muncul dengan cara ini masih dapat dikembangkan sehingga satu keilahan, lalu muncullah monoteisme

2)      Tahap metafisis atau tahap yang abstrak

Dalam tahap ini, dewa-dewa hanya diganti oleh kekuatan-kekuatan abstrak. Terjemahan metafisis dari monoteis itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep ‘alam’ sebagai asal semua gejala.

3)      Tahap Ilmiah atau positif

Kalau manusia mengerti bahwa tidak berguna untuk mencari pengetahuan mutlak (baik teologis maupun metafisis), kalau ia tidak lagi mencari asal dan tujuan segala sesuatu, hakikat benda-benda maka ia memasuki tahap positif. Ia mulai menemukan hukum alam hanya dengan mengamati alam dan menggunakan akal budi.[3]



B.     ILMU DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL

Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana  bagi manusia dalam kehidupannya. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantungan dan saling mempengaruhi. Dalam pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa. Pengkajian kebudayaan nasional kita tidak dapat dilepaskan dari pengembangan ilmu. Untuk itu maka pengkajian kita akan difokuskan pada usaha untuk meningkatkan ilmu sebagai sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan nasional.

1.      Tema dan Tinjauan Umum Filsafat  Ilmu

Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri – ciri pengetahuan ilmiah dan cara – cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, Filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Karena, apabila para penyelenggara pelbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek – obyek serta masalah – masalah yang berjenis khusus dari masing – masing ilmu itu tersendiri, maka orang pun dapat melaakukan penyelidikan lanjutan terhhadap kegiatan – kegiatan ilmiah itu tersebut. Dengan mengalihkan perhatian perhatian dari obyek – obyek yang sebenarnya dari penyelidikan ilmiah kepada proses penyelidikannya senidiri, maka muncullah suatu matra baru. Segi – segi yang menonjol serta latar belakang segenap kegiatan menjadi tampak. Berangkat dari sini, menjadi jelas pula saling hubungan antara obyek – obyek dengan metode – metode, antara masalah – masalah yang hendak di pecahkan dengan tujuan penyeledikian ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan – bahan secara ilmiah. Dan memang filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan ( =secondary reflexion)[4].

2.      Ilmu Sebagai Suatu Cara Berpikir

Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakikatnya mencangkup dua kriteria utama yakni :

1.      Berpikir ilmiah harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis dan,

2.      Persyaratan yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris.

Kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat mutlak sebab mungkin saja penyataan yang sekarang logis, kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru atau pertanyaan yang sekaran didukung oleh fakta ternyata kemudian ditentang oleh penemuan baru. Kebenaran ilmiah terbuka bagi koneksi dan penyempurnaan. Dari hakikat berpikir tersebut maka kita dapat menyimpulkan beberapa karakteristik dari ilmu.

1.      mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Walaupun demikian maka berpikir secara rasional ini pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar sampai kepada kesimpulan yang dapat diandalkan.

2.      alur jalan yang logis dan konsisten dengan pengetahuan yang telah ada. Walaupun demikian maka tidak semua yang logis itu didukung fakta atau mengandung kebenaran secara empiris.

3.      Pengujian sebagai kriteria kebenaran objektif. Pernyataan yang dijabarkan secara logis dan telah teruji secara empiris lalu dianggap benar secara ilmiah. Walaupun demikian tidak ada jaminan bahwa penyataan yang sekarang benar secara ilmiah kemudian lalu tidak sahih lagi.

4.      Mekanisme yang terbuka terhadap koneksi.

Dengan demikian maka manfaat nilai yang dapat ditarik dari karakteristik ilmu ialah sifat rasional, objektif, logis, dan terbuka. Disamping itu, sifat kritis merupakan karakteristik yang melandasi keempat sifat tersebut.

3.      Ilmu Sebagai Asas Moral

Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pegetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Disamping itu kebenaran bagi kaum ilmuan mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan yang universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional maka ilmuwan tidak mengabdi golongan, klik pilitik atau kelompok-kelompok lainnya. Secara internasional kaum ilmuwan tidak mengabdi ras, ideologi dan faktor-faktor pembatas lainnya.

Dua karakterisik ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan kebnaran dan pengabdian secara universal[5]. Tentu saja dalam kenyataannya pelaksanaan asas moral ini tidak mudah sebab sejak tahap perkembangan ilmu yang sangat awal kegiatan ilmiah ini dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dari luar. Hal ini, menurut Bachtiar Rifai, lebih menonjol lagi dinegara-negara yang sedang berkembang, karena sebagian besar kegiatan keilmuan merupakan kegiatan aparatur negara.

4.      Nilai—Nilai Ilmiah Dan Pengembangan Kebudayaan Nasional

Dalam pembentukan karakter bangsa, sekiranya bangsa Indonesia bertujuan menjadi bangsa yang modern. Bangsa yang modern akan menghadapi berbagai permasalahan dalam bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, ilmu/teknologi, pendidikan dan lain-lain yang membutuhkan cara pemecahan masalah secara kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Sedangkan sifat menjunjung kebenaran dan pengabdian universal akan merupakan faktor yang penting dalam pembinaan bangsa (nation building) dimana seseorang lebih melibatkan kebenaran untuk kepentingan nasional dibandingkan kepentingan golongan.

Pengembangan  kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengambangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai baru yang fungsional.

5.      Kearah Peningkatan Peranan Keilmuan

Sekiranya bisa diterima bahwa ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan nasional, maka masalahnya adalah, bagaimana caranya menigkatkan peranan keilmuan dalam kehidupan kita.

a.       ilmu merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah kearah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi kebudayaan masyarakat kita.

b.      ilmu merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran. Asas ini harus digaris bawahi agar usaha mempromosikan ilmu tidak menjurus kepada “kecanduan terhadap ilmu dengan kecenderungan untuk membagi semua pemikiran kepada dua golongan yakni ilmu dan omong kosong” menurut Gerald Halton[6].

c.       Asumsi dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya terhadap metode yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut.

d.      Pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Makin pandai seseorang dalam bidang keilmuan maka harus makin luhur landasan moralnya.

e.       Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan. Pengembangan yang seimbang antara ilmu dan filsafat akan bersifat saling menunjang dan saling mengontrol terutama terhadap landasan epistemologi (metode) dan aksiologis (nilai) keilmuan.

f.        Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan struktur kekuasaan. Pengendalian kegiatan keilmuan seperti yang pernah dilakukan pemerintah Nazi dengan menyensor semua disertasi doktor[7].



C.    HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU

Menurut pandangan kaum filosof sekarang, kerterkaitan filsafat dan ilmu terbagi dua, yaitu:

1.      Hubungan erat antara keduanya. Perkembangan ilmu harus bersama-sama dengan filsafat, bahkan ada yang menyamakan filsafat dengan ilmu

2.      Filsafat tidak terkait dengan ilmu. Ia otonom dan tidak mau diperalat oleh ilmu.

Pandangan pertama dianut disunia Universitas Eropa umumnya, semenjak lahir abad ke-19[8]. Pandangan yang kedua menganggap bahwa filsafat itu otonom. Dengan demikian tidak ada hubungan antara filsafat dan ilmu, bahkan keduanya itu saling tantang. Kecenderungan ilmiah itu dalam kurun ini berpusat di Eropa Barat dengan alirannya-alirannya yang penting fenomenologi, personalisme, neo-Hegelianisme.

D.    HUBUNGAN ILMU DENGAN KEBUDAYAAN

Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahun merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pengambangan kebudayaan nasional merupakan bagian kegiatan dari suatu bangsa, baik disari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit atau tidak.

Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada suatu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dilain pihak, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terpadu secara intim dengan keseluruhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, mereka saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembangkan secara pesat, demikian sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapannya.

Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunya peranan ganda.

a)      Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebbudayaan nasional.

b)      Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa.

Pada kenyataanya kedua fungsi ini terpadu satu sama lain dan sukar dibedakan. Pengkajian pengembangan kebudayaan nasional kita tidak dapat dilepaskan dari pengembangan ilmu. Dalam kurung dewasa ini yang terkenal sebagai kurun ilmu teknologi, kebudayaan kitapun tak lepas dari pengaruhya, dan mau tidak mau harus ikut memperhitungkan faktor ini. Sayangnya yang lebih dominan pengaruhnya terhadap kehidupan kita adalah teknologi yang merupakan produk dari kegiatan ilmiah. Sedangkan hakikat keilmuan itu sendiri yang merupakan sumber nilai yang konstruktif bagi pengembangan kebudayaan nasional pengaruhnya dapat dikatakan minimal sekali.

Ada pemahaman yang memisahkan ilmu dan kebudayaan baik secara konseptual maupun faktual, tidak dapat diterima lagi. Ilmu merupakan komponen penting dari kebudayaan. Bahkan kecenderungan akhir abad ini semakin member tempat bagi dominasi ilmu dalam menciptakan universum-universum simbolok atau dunia kemasukakalan. Tidak perlu disangkal bahwa memang timbul segala marginalisasi unsure-unsur pengetahuan non ilmiah sebagai unsure pengetahuan yang berada diluat objektivitas.

Sebagaimana watak yang sudah melekat pada kebudayaan manusia scientism pada akhirnya dapat reaksi paling tidak dengan munculnya reorientasi atau pengembangan orientasi baru bagi pengembangan ilmu baru. Gejala yang tampak semakin luas adalah mulai ditinggalkannya ideologi ilmu untuk ilmu atau ilmu bebas nilai. Ideoloi yang sedemikian jelas mengingkari hubungan dialektis antara ilmu sebagai unsur sistem kebudayaan dengan unsur sistem kebudayaan yang lain, baik itu religi, struktur sosial kepentingan politis maupun subjektifitas manusia itu sendiri. Persoalan yang kemudian menuntut pemikiran bersama lebih lanjut adalah strategi pengembangan ilmu yang sungguh-sungguh mempertimbangkan unsur-unsur sistem kebudayaan yang lain secara integral dan integratif. Kesalahan pemilihan strategi pembelajaran ilmu akan mempunyai akibat langsung bagi integrasi kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Setiap kebudayaan memiliki hierarki nilai yang berbeda sebagai dasar penentuan skala prioritas. Ada sistem kebudayaan yang menentukan nilai teori dengan mendudukan rasiolisme, empirisme, dan metode ilmiah sebagai dasar penentu dunia objektif. Terdapat pula sistem kebudayaan yang menempatkan nilai ekonomi sebagai acua dasar dari seluruh dinamika unsur kebudayaan yang lain. Ada juga sistem kebudayaan yang meletakkan nilai positif sebagai dasar pengendali unsur-unsur kebudayaan yang lain, selain ada sistem kebudayaan yang menempatkan nilai religius, nilai estetis, nilai sosial sebagai dasar dasn orientasi seluruh kebudayaan setiap pilihan orientsi nilai dari kebudayaan akan memiliki konsekuensi masing-masing, baik pada taraf ideasional maupun operasional.

Untuk meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan pada pokoknya mengandung beberapa pikiran.

a)         Ilmu merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah kearah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi kebudayaan masyarakat kita.

b)        Ilmu merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran. Disamping ilmu masih terdapat cara-cara lain yang sah sesuai lingkungan dan permasalahannya masing-masing.

c)         Asumsi dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya terhadap metode yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut.

d)        Pendidikan ilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral.

e)         Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan.

f)         Kegiatan ilmiah harus bersifat otonomi yang terbatas dari tekanan struktur kekuasaan.
Pada hakikatnya semua unsur kebudayaan harus diberi otonomi dalam menciptakan paradigma mereka sendiri. Terlalu banyak campur tangan dari luar hanya menimbulkan paradigma mereka semua yang tidak ada gunanya. Paradigma agar bias berkembang dengan baik membutuhkan dua syarat yakni kondisi rasionalitas dan kondisi psikososial kelompok. Kondisi rasionalitas menyangkut dasar pikiran paradigma yang berkaitan dengan makna, hakikat dan relevansinya dengan keterlibatan semua anggota



Semoga bermanfaat.
Universitas Djuanda

2 comments:

Blogroll

About

About

Cat Paw