BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
ILMU DAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan
didefinisikan untuk pertama kali oleh E.B Taylor pada tahun 1871, dimana
kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencangkup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebisaan lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[1]
1. Ilmu dalam Budaya
Kududukan ilmu dalam dunia bersama
disebut budaya. Budaya dapat dibedakan menjadi beberapa tahap. Van Peursen
membagi budaya menjadi budaya mistis, budaya ontologis, dan budaya fungsional[2].
Tahapan itu merupakan suatu model, pola dasar sebagai kerangka budaya yang
selalu menampilkan tiga dimensi aku yaitu mistis, ontologi, dan fungsional.
Budaya mistis ialah budaya yang
lebih menonjolkan aspek mistis daripada aspek lainnya. Demikian pula budaya
fungsional dan ontologis, tetapi setiap kebudayaan menggabungkan ketiga aspek
tersebut dalam kombinasi dengan imbanganyang berbeda.
S
|
P
|
a. Budaya
mistis O
Dalam bagan di samping, ilmu turut
serta mengambil bagian dalam kejadian sekitarnya, melebur dengan kekuatan
objek, objek nyata pada lingkaran subjek yang tidak digambar penuh, subjek
tidak bulat penuh, sehingga kekuatan dari luar dapat menerobosnya, belum ada
pemisah yang jelas. Adapun kekuatan-kekuatan ajaib dijumpai lewat beberapa
(simbol) dalam mitos. Dimensi negatif ilmu mistis mengambil wujud sikap magis,
dimensi positif ialah dimensi religius.
b.
Budaya
ontologis
P
|
S
|
Pada ilmu
ontologis partisipasi ilmu mistis telah terdesak oleh distansi, pengambilan
jarak subjek dari objek sepenuhnya, nyata dalam bagan dalam wujud dua lingkaran
subjek dan objek yang terpisah secara penuh. Subjek memandang objek, membatasi,
meneliti dan mengungkapkannya dalam pengertian-pengertian yang jelas. Dimensi
negatif ialah apabila distansi menjadi isolasi, tejadi sikap substansialistik
atau individualis.
c.
Budaya fungsional
P
|
S
|
Pada ilmu
fungsional maka subjek terbuka bagi objek dan sebaliknya, nyata pada lingkaran
subjek dan objek yang terbuka dan berkaitan, dalam suatu ketegangan. Subjek
mengadakan pengerahan diri, suatu pertautan diri dan keterlibatan dengan segala
gairah dan emosi yang disebut sikap eksistnsial. Segi negatif dalam budaya
fungsional tampak dalam oprasionalisme. Sikap keterbukaan pertautan
subjek-subjek tertutup lagi sehingga suatu yang semula bersifat relasi menjadi
semcam rumus atau denah saja.
1)
Tahap Teoligis, atau tahap yang berdasarkan fantasi
Dibedakan menjadi 3 tahap, yaitu
animisme, piliteisme, dan monoteisme. Dalam tahap animisme orang beranggapan
bahwa benda-benda merupakan suatu yang berjiwa. Banyak benda tersebut ‘suci’
atau ‘sakti’. Gejala-gejala ‘suci’ dapat disebut ‘dewa-dewa’ dan dewa-dewa ini
bisa diatur dalam suatu sistem sehingga menjadi politeisme dengan spesialisai
dewa api, dewa lautan, dewa angin, dewa panen, dan sebgainya. Politeisme yang
muncul dengan cara ini masih dapat dikembangkan sehingga satu keilahan, lalu
muncullah monoteisme
2)
Tahap metafisis atau tahap yang abstrak
Dalam tahap ini, dewa-dewa hanya
diganti oleh kekuatan-kekuatan abstrak. Terjemahan metafisis dari monoteis itu
misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan
dalam konsep ‘alam’ sebagai asal semua gejala.
3)
Tahap Ilmiah atau positif
Kalau manusia mengerti bahwa tidak
berguna untuk mencari pengetahuan mutlak (baik teologis maupun metafisis),
kalau ia tidak lagi mencari asal dan tujuan segala sesuatu, hakikat benda-benda
maka ia memasuki tahap positif. Ia mulai menemukan hukum alam hanya dengan
mengamati alam dan menggunakan akal budi.[3]
B.
ILMU
DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL
Ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari
kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup
dan sarana bagi manusia dalam
kehidupannya. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantungan
dan saling mempengaruhi. Dalam pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai
peranan ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung
terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber
nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa. Pengkajian kebudayaan
nasional kita tidak dapat dilepaskan dari pengembangan ilmu. Untuk itu maka
pengkajian kita akan difokuskan pada usaha untuk meningkatkan ilmu sebagai
sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan nasional.
1.
Tema
dan Tinjauan Umum Filsafat Ilmu
Filsafat
ilmu adalah penyelidikan tentang ciri – ciri pengetahuan ilmiah dan cara – cara
untuk memperolehnya. Dengan kata lain, Filsafat ilmu sesungguhnya merupakan
suatu penyelidikan lanjutan. Karena, apabila para penyelenggara pelbagai ilmu
melakukan penyelidikan terhadap obyek – obyek serta masalah – masalah yang
berjenis khusus dari masing – masing ilmu itu tersendiri, maka orang pun dapat
melaakukan penyelidikan lanjutan terhhadap kegiatan – kegiatan ilmiah itu
tersebut. Dengan mengalihkan perhatian perhatian dari obyek – obyek yang
sebenarnya dari penyelidikan ilmiah kepada proses penyelidikannya senidiri,
maka muncullah suatu matra baru. Segi – segi yang menonjol serta latar belakang
segenap kegiatan menjadi tampak. Berangkat dari sini, menjadi jelas pula saling
hubungan antara obyek – obyek dengan metode – metode, antara masalah – masalah
yang hendak di pecahkan dengan tujuan penyeledikian ilmiah, antara pendekatan
secara ilmiah dengan pengolahan bahan – bahan secara ilmiah. Dan memang
filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat
lanjutan ( =secondary reflexion)[4].
2.
Ilmu
Sebagai Suatu Cara Berpikir
Ilmu merupakan suatu cara
berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat
diandalkan. Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakikatnya
mencangkup dua kriteria utama yakni :
1. Berpikir
ilmiah harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis dan,
2. Persyaratan
yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris.
Kebenaran ilmiah ini
tidaklah bersifat mutlak sebab mungkin saja penyataan yang sekarang logis,
kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru atau pertanyaan yang
sekaran didukung oleh fakta ternyata kemudian ditentang oleh penemuan baru. Kebenaran
ilmiah terbuka bagi koneksi dan penyempurnaan. Dari hakikat berpikir tersebut
maka kita dapat menyimpulkan beberapa karakteristik dari ilmu.
1. mempercayai rasio sebagai alat untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar. Walaupun demikian maka
berpikir secara rasional ini pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar
sampai kepada kesimpulan yang dapat diandalkan.
2. alur jalan yang logis dan konsisten
dengan pengetahuan yang telah ada. Walaupun demikian maka
tidak semua yang logis itu didukung fakta atau mengandung kebenaran secara
empiris.
3. Pengujian sebagai kriteria kebenaran
objektif. Pernyataan yang dijabarkan secara logis dan telah
teruji secara empiris lalu dianggap benar secara ilmiah. Walaupun demikian
tidak ada jaminan bahwa penyataan yang sekarang benar secara ilmiah kemudian
lalu tidak sahih lagi.
4. Mekanisme yang terbuka terhadap
koneksi.
Dengan demikian maka
manfaat nilai yang dapat ditarik dari karakteristik ilmu ialah sifat rasional, objektif, logis, dan terbuka.
Disamping itu, sifat kritis merupakan
karakteristik yang melandasi keempat sifat tersebut.
3.
Ilmu
Sebagai Asas Moral
Ilmu merupakan kegiatan
berpikir untuk mendapatkan pegetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana,
ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Disamping itu kebenaran bagi kaum
ilmuan mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan yang universal bagi umat
manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional maka
ilmuwan tidak mengabdi golongan, klik pilitik atau kelompok-kelompok lainnya.
Secara internasional kaum ilmuwan tidak mengabdi ras, ideologi dan
faktor-faktor pembatas lainnya.
Dua karakterisik ini
merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan kebnaran dan pengabdian secara universal[5].
Tentu saja dalam kenyataannya pelaksanaan asas moral ini tidak mudah sebab
sejak tahap perkembangan ilmu yang sangat awal kegiatan ilmiah ini dipengaruhi
oleh struktur kekuasaan dari luar. Hal ini, menurut Bachtiar Rifai, lebih
menonjol lagi dinegara-negara yang sedang berkembang, karena sebagian besar
kegiatan keilmuan merupakan kegiatan aparatur negara.
4.
Nilai—Nilai
Ilmiah Dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
Dalam pembentukan
karakter bangsa, sekiranya bangsa Indonesia bertujuan menjadi bangsa yang
modern. Bangsa yang modern akan menghadapi berbagai permasalahan dalam bidang
politik, ekonomi, kemasyarakatan, ilmu/teknologi, pendidikan dan lain-lain yang
membutuhkan cara pemecahan masalah secara kritis, rasional, logis, objektif,
dan terbuka. Sedangkan sifat menjunjung kebenaran dan pengabdian universal akan
merupakan faktor yang penting dalam pembinaan bangsa (nation building) dimana seseorang lebih melibatkan kebenaran untuk
kepentingan nasional dibandingkan kepentingan golongan.
Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah
perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi
kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses
pengambangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai baru yang fungsional.
5.
Kearah
Peningkatan Peranan Keilmuan
Sekiranya bisa diterima
bahwa ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan nasional, maka masalahnya
adalah, bagaimana caranya menigkatkan peranan keilmuan dalam kehidupan kita.
a. ilmu
merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah kearah
peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi
kebudayaan masyarakat kita.
b. ilmu
merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran. Asas ini harus digaris
bawahi agar usaha mempromosikan ilmu tidak menjurus kepada “kecanduan terhadap
ilmu dengan kecenderungan untuk membagi semua pemikiran kepada dua golongan
yakni ilmu dan omong kosong” menurut Gerald Halton[6].
c. Asumsi
dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya
terhadap metode yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut.
d. Pendidikan
keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Makin pandai
seseorang dalam bidang keilmuan maka harus makin luhur landasan moralnya.
e. Pengembangan
bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat
terutama yang menyangkut keilmuan. Pengembangan yang seimbang antara ilmu dan
filsafat akan bersifat saling menunjang dan saling mengontrol terutama terhadap
landasan epistemologi (metode) dan aksiologis (nilai) keilmuan.
f.
Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom
yang terbebas dari kekangan struktur kekuasaan. Pengendalian kegiatan keilmuan
seperti yang pernah dilakukan pemerintah Nazi dengan menyensor semua disertasi
doktor[7].
C.
HUBUNGAN
FILSAFAT DENGAN ILMU
Menurut pandangan kaum
filosof sekarang, kerterkaitan filsafat dan ilmu terbagi dua, yaitu:
1. Hubungan
erat antara keduanya. Perkembangan ilmu harus bersama-sama dengan filsafat, bahkan
ada yang menyamakan filsafat dengan ilmu
2. Filsafat
tidak terkait dengan ilmu. Ia otonom dan tidak mau diperalat oleh ilmu.
Pandangan
pertama dianut disunia Universitas Eropa umumnya, semenjak lahir abad ke-19[8]. Pandangan yang kedua
menganggap bahwa filsafat itu otonom. Dengan demikian tidak ada hubungan antara
filsafat dan ilmu, bahkan keduanya itu saling tantang. Kecenderungan ilmiah itu
dalam kurun ini berpusat di Eropa Barat dengan alirannya-alirannya yang penting
fenomenologi, personalisme, neo-Hegelianisme.
D. HUBUNGAN
ILMU DENGAN KEBUDAYAAN
Ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahun merupakan unsur dari
kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup
dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan
kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang
diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pengambangan kebudayaan nasional
merupakan bagian kegiatan dari suatu bangsa, baik disari atau tidak maupun
dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Ilmu dan
kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi.
Pada suatu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari
kondisi kebudayaannya. Sedangkan dilain pihak, pengembangan ilmu akan
mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terpadu secara intim dengan keseluruhan
struktur sosial dan tradisi kebudayaan, mereka saling mendukung satu sama lain:
dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembangkan secara pesat, demikian
sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung
perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapannya.
Dalam rangka
pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunya peranan ganda.
a)
Ilmu
merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebbudayaan
nasional.
b)
Ilmu
merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa.
Pada
kenyataanya kedua fungsi ini terpadu satu sama lain dan sukar dibedakan.
Pengkajian pengembangan kebudayaan nasional kita tidak dapat dilepaskan dari
pengembangan ilmu. Dalam kurung dewasa ini yang terkenal sebagai kurun ilmu
teknologi, kebudayaan kitapun tak lepas dari pengaruhya, dan mau tidak mau
harus ikut memperhitungkan faktor ini. Sayangnya yang lebih dominan pengaruhnya
terhadap kehidupan kita adalah teknologi yang merupakan produk dari kegiatan
ilmiah. Sedangkan hakikat keilmuan itu sendiri yang merupakan sumber nilai yang
konstruktif bagi pengembangan kebudayaan nasional pengaruhnya dapat dikatakan
minimal sekali.
Ada
pemahaman yang memisahkan ilmu dan kebudayaan baik secara konseptual maupun
faktual, tidak dapat diterima lagi. Ilmu merupakan komponen penting dari
kebudayaan. Bahkan kecenderungan akhir abad ini semakin member tempat bagi
dominasi ilmu dalam menciptakan universum-universum simbolok atau dunia
kemasukakalan. Tidak perlu disangkal bahwa memang timbul segala marginalisasi
unsure-unsur pengetahuan non ilmiah sebagai unsure pengetahuan yang berada
diluat objektivitas.
Sebagaimana
watak yang sudah melekat pada kebudayaan manusia scientism pada akhirnya dapat
reaksi paling tidak dengan munculnya reorientasi atau pengembangan orientasi
baru bagi pengembangan ilmu baru. Gejala yang tampak semakin luas adalah mulai
ditinggalkannya ideologi ilmu untuk ilmu atau ilmu bebas nilai. Ideoloi yang
sedemikian jelas mengingkari hubungan dialektis antara ilmu sebagai unsur
sistem kebudayaan dengan unsur sistem kebudayaan yang lain, baik itu religi,
struktur sosial kepentingan politis maupun subjektifitas manusia itu sendiri.
Persoalan yang kemudian menuntut pemikiran bersama lebih lanjut adalah strategi
pengembangan ilmu yang sungguh-sungguh mempertimbangkan unsur-unsur sistem
kebudayaan yang lain secara integral dan integratif. Kesalahan pemilihan
strategi pembelajaran ilmu akan mempunyai akibat langsung bagi integrasi
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Setiap kebudayaan memiliki
hierarki nilai yang berbeda sebagai dasar penentuan skala prioritas. Ada sistem
kebudayaan yang menentukan nilai teori dengan mendudukan rasiolisme, empirisme,
dan metode ilmiah sebagai dasar penentu dunia objektif. Terdapat pula sistem
kebudayaan yang menempatkan nilai ekonomi sebagai acua dasar dari seluruh
dinamika unsur kebudayaan yang lain. Ada juga sistem kebudayaan yang meletakkan
nilai positif sebagai dasar pengendali unsur-unsur kebudayaan yang lain, selain
ada sistem kebudayaan yang menempatkan nilai religius, nilai estetis, nilai
sosial sebagai dasar dasn orientasi seluruh kebudayaan setiap pilihan orientsi
nilai dari kebudayaan akan memiliki konsekuensi masing-masing, baik pada taraf
ideasional maupun operasional.
Untuk
meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan pada pokoknya mengandung beberapa
pikiran.
a)
Ilmu
merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah kearah
peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi
kebudayaan masyarakat kita.
b)
Ilmu
merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran. Disamping ilmu masih
terdapat cara-cara lain yang sah sesuai lingkungan dan permasalahannya masing-masing.
c)
Asumsi dasar
dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya terhadap
metode yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut.
d)
Pendidikan
ilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral.
e)
Pengembangan
bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat
terutama yang menyangkut keilmuan.
f)
Kegiatan
ilmiah harus bersifat otonomi yang terbatas dari tekanan struktur kekuasaan.
Pada hakikatnya semua unsur kebudayaan harus diberi
otonomi dalam menciptakan paradigma mereka sendiri. Terlalu banyak campur
tangan dari luar hanya menimbulkan paradigma mereka semua yang tidak ada
gunanya. Paradigma agar bias berkembang dengan baik membutuhkan dua syarat
yakni kondisi rasionalitas dan kondisi psikososial kelompok. Kondisi
rasionalitas menyangkut dasar pikiran paradigma yang berkaitan dengan makna,
hakikat dan relevansinya dengan keterlibatan semua anggota
InsyaAlloh bermanfaat
ReplyDeleteMakasih ya jadii tambah wawasan nd pengetahuan
ReplyDelete